“Bagaimana jika Tuhan ternyata menciptakan kita bersama hanya untuk
belajar bagaimana caranya berpisah?”.
Pertanyaan itu seketika menyeruak
seisi kamar. Meliuk diantara dengusan nafas kita. Aku dan kamu. Sembari menatap
langit-langit kamar yang semu temaram. Diantara pendar lampu sembari kau tunjuk
kesalah satu sudut langit.
“bagaimana jika Tuhan cuma ingin kita menikmati keindahan hanya untuk
saat ini saja?”.
Aku jujur heran dengan pertanyaan
itu. Aku sangat gusar. Untuk apa menanyakan hal yang sebetulnya tidak perlu
kamu ketahui jawabanya. Kau bangun segera. Setengah berbaring sembari menolehku
dengan tatapan penasaran. Lalu kau lemparkan pertanyaan itu lagi kepadaku.
“masihkah ada cinta diantara kita?”.
Cicak dilangit-langit-pun juga
menanti jawabanku yang semakin membeku. Seketika kamar bersuhu minus 10
derajat. Entah antartika pindah atau memang sudah mulai masuk musim dingin. Malam
itu akhirnya ditutup dengan kedinginan luar biasa. Berlalu seperti malam-malam
sebelumnya.
###
Desember kembali datang. menyeruak dalam sela-sela teralis kayu berwarna coklat usang. terlihat bayangan di cermin persegi dengan bingkai kayu sengon lusuh. sosok laki-laki tengah sibuk mengemas barang-barang. Memasukkan semua kenangan kedalam kardus - kardus. Seperti hendak berpindah. atau pergi. Entahlah.
Itu adalah aku. Iya. Aku hendak pergi.entah kemana. Rasanya rumah ini sudah tidak kuat lagi menahan deras hujan yang datang bergulung-gulung. Dinding - dinding lapuk bercat krem - nya sudah tidak lagi mampu menahan hujan, kuatnya cengkraman lumut hijau tua juga yang membuat rumah ini semakin menua. aku sudah tua. atau rumah. entah.
Desember merupakan muaranya badai. Kau bisa bersaksi jika kesedihan kecil bermula di hujan bulan september. rintik kecil berjingrak melewati oktober dan november. disaat langit tidak kuat lagi menahan tangis, barulah desember sebagai titik penghabisan. di akhir tahun kesedihan selalu datang berbarengan dengan hujan yang menderu. mereka datang bergulung-gulung menghempaskan asa. luka beterbaran. sayatan kecilnya membuat infeksi. kadang menjadi koreng yang berminggu - minggu baru sembuh. bukti bahwa hujan terasa begitu sangat menyakitkan.
Kardus - kardus coklat berserakan di ruang tengah. entah aku bingung bagaimana caranya memilah barang-barangku. aku sempat terdiam untuk beberapa saat. kupandangi kardus - kardus coklat itu bergantian dengan barang - barangku. berulang kali. lamat - lamat. di luaran hujan turun sangat deras, sampai - sampai kamu bisa mendengarkan gemuruh air menerpa atap rumah dan bau tanah bercampur air. sedikit menenangkan memang. tetapi juga mengharukan. tapi bukankah hal itu yang selama ini kau rindukan?
Aku memulai dengan bingkai - bingkai foto usangku. aku pilah pilah. karena aku tidak bisa membawa semua bingkai kenangan dalam satu kardus. terlalu banyak dan terlalu berat. jadi memang harus ada yang aku tinggalkan. terselip fotoku sewaktu masih Sekolah Dasar. aku masih usia 9 tahun sepertinya. di foto itu terlihat seorang anak kecil sedang menangis sesenggukan didepan teman - temannya. Aku teringat seketika. Itu aku sewaktu di bully karena aku tidak mau bermain kelereng dengan anak-anak sesama jenisku. bangsat mereka semua memang. aku memilih untuk lebih suka duduk mendengarkan kakak - kakak ku bermain boneka. berkumpul melingkar lalu selalu terpesona dengan kejadian yang akan terjadi. seakan-akan aku dan kamu dahulu menonton opera sabun di Comique Theatre Paris. ingatanku kembali membanjiri otakku. aku suka sekali disaat kakak - kakak perempuan ku memainkan bonekanya untuk bercerita tentang kisah cinta layaknya Romeo and Juliet. sejak kecil aku memang tertarik dengan karya sastra. tak heran kau melihatku dengan gelar sarjana sastra inggris. gemuruh halilintar menyambar. aku terkesiap kembali. menghamburkan lamunan 13 tahun yang lalu. segera aku mengemasi foto - foto itu.
Lalu pandangan berpindah ke setumpuk buku - buku usang. tergeletak lemah disudut rumah. aku coba menghampiri. buku bersampul coklat itu menarik perhatianku. oh, aku ingat. itu buku dimana didalamnya diceritakan kisah - kisah kita. kamu selalu membawanya kemana - mana. ke pantai, ke gereja. ke sudut pasar kumuh pinggiran disaat diutus mama mu membeli sayur - mayur. kau tulis semuanya disana. lengkap dengan tetesan air mata dan gelak tawa disetiap lembar buku coklat itu. aku tersenyum. terpaku pada satu halaman yang menceritakan awal mula kita bertemu. entah apa maksud Tuhan. tapi aku yakin, itu semua bukan sebuah kebetulan. Hujan masih ramai. berbondong - bondong menuju bumi. petir berteriak.
aku melihatmu untuk yang pertama kali disaat kamu melintas didepanku. seperti hendak mengambil kertas fotokopi atau sekedar merapikan tatanan rambutmu di belakang. aku jatuh hati. semudah itu. tapi memperjuangkan mu tidak semudah jatuh cinta. aku harus terpisah dahulu dengan mu. tidak melihatmu untuk jangka waktu yang lama bukanlah hal yang mudah. aku selalu mencoba untuk mengatakan kepada langit bahwa aku yakin bahwa aku dan kamu sedang memandangi langit yang sama. tapi faktanya adalah kamu sudah bersuami. sialan!
Diluar hujan hampir selesai. sisa - sisa gerimisnya saja yang tinggal. berjentik menari diatas trotoar, kapel kapel gereja dan menuruni daun pohon mahoni depan rumah. aku masih sibuk mengemasi barang - barangku. mencoba menerka-terka apa lagi yang aku bawa. Kadang mengemasi lalu semenit kemudian membukanya lagi. ragu mana yang layak untuk dipertahankan.
Pindah ini bukanlah aku yang minta. jangan salahkan aku jika pada akhirnya aku yang harus pergi. bukannya semua pahlawan seperti itu?. Gumamku ke sudut - sudut dinding. menggema. seketika senyap. terasa ada teriakan, tapi entah siapa. hujan kembali hadir. deras sekali.
Tidak ada yang paling menyedihkan ketika kita diperlakukukan untuk menjauh dari sikap - sikap tidak lagi nyaman. aku yakin semua orang berusaha untuk nyaman dan menyamankan satu sama lain. bukankah dalam dunia yang lain kamu pernah bilang bahwa berjuang itu dua sisi. begitu pula dengan mencintai. ada kata saling yang tersirat di dalam kata mencintai.
Asal kamu tahu, tidak ada yang mau pindah. begitupun denganku. darimu.
10 Agustus 2015
Nailal Mustaghfiri.
Someone has to be the person who pull the trigger, it's just a matter of time.
Asal kamu tahu, tidak ada yang mau pindah. begitupun denganku. darimu.
###
Nailal Mustaghfiri.
Someone has to be the person who pull the trigger, it's just a matter of time.