Cari

Senin, 10 Agustus 2015

Tentang Kehilangan

Bagaimana jika Tuhan ternyata menciptakan kita bersama hanya untuk belajar bagaimana caranya berpisah?”.


Pertanyaan itu seketika menyeruak seisi kamar. Meliuk diantara dengusan nafas kita. Aku dan kamu. Sembari menatap langit-langit kamar yang semu temaram. Diantara pendar lampu sembari kau tunjuk kesalah satu sudut langit.

bagaimana jika Tuhan cuma ingin kita menikmati keindahan hanya untuk saat ini saja?”.


Aku jujur heran dengan pertanyaan itu. Aku sangat gusar. Untuk apa menanyakan hal yang sebetulnya tidak perlu kamu ketahui jawabanya. Kau bangun segera. Setengah berbaring sembari menolehku dengan tatapan penasaran. Lalu kau lemparkan pertanyaan itu lagi kepadaku.

masihkah ada cinta diantara kita?”.


Cicak dilangit-langit-pun juga menanti jawabanku yang semakin membeku. Seketika kamar bersuhu minus 10 derajat. Entah antartika pindah atau memang sudah mulai masuk musim dingin. Malam itu akhirnya ditutup dengan kedinginan luar biasa. Berlalu seperti malam-malam sebelumnya.


###


Desember kembali datang. menyeruak dalam sela-sela teralis kayu berwarna coklat usang. terlihat bayangan di cermin persegi dengan bingkai kayu sengon lusuh. sosok laki-laki tengah sibuk mengemas barang-barang. Memasukkan semua kenangan kedalam kardus - kardus. Seperti hendak berpindah. atau pergi. Entahlah.

Itu adalah aku. Iya. Aku hendak pergi.entah kemana. Rasanya rumah ini sudah tidak kuat lagi menahan deras hujan  yang datang bergulung-gulung. Dinding - dinding lapuk bercat krem - nya sudah tidak lagi mampu menahan hujan, kuatnya cengkraman lumut hijau tua juga yang membuat rumah ini semakin menua. aku sudah tua. atau rumah. entah.

Desember merupakan muaranya badai. Kau bisa bersaksi jika kesedihan kecil bermula di hujan bulan september. rintik kecil berjingrak melewati oktober dan november. disaat langit tidak kuat lagi menahan tangis, barulah desember sebagai titik penghabisan. di akhir tahun kesedihan selalu datang berbarengan dengan hujan yang menderu. mereka datang bergulung-gulung menghempaskan asa. luka beterbaran. sayatan kecilnya membuat infeksi. kadang menjadi koreng yang berminggu - minggu baru sembuh. bukti bahwa hujan terasa begitu sangat menyakitkan.

Kardus - kardus coklat berserakan di ruang tengah. entah aku bingung bagaimana caranya memilah barang-barangku. aku sempat terdiam untuk beberapa saat. kupandangi kardus - kardus coklat itu bergantian dengan barang - barangku. berulang kali. lamat - lamat. di luaran hujan turun sangat deras, sampai - sampai kamu bisa mendengarkan gemuruh air menerpa atap rumah dan bau tanah bercampur air. sedikit menenangkan memang. tetapi juga mengharukan. tapi bukankah hal itu yang selama ini kau rindukan?

Aku memulai dengan bingkai - bingkai foto usangku. aku pilah pilah. karena aku tidak bisa membawa semua bingkai kenangan dalam satu kardus. terlalu banyak dan terlalu berat. jadi memang harus ada yang aku tinggalkan. terselip fotoku sewaktu masih Sekolah Dasar. aku masih usia 9 tahun sepertinya. di foto itu terlihat seorang anak kecil sedang menangis sesenggukan didepan teman - temannya. Aku teringat seketika. Itu aku sewaktu di bully karena aku tidak mau bermain kelereng dengan anak-anak sesama jenisku. bangsat mereka semua memang. aku memilih untuk lebih suka duduk mendengarkan kakak - kakak ku bermain boneka. berkumpul melingkar lalu selalu terpesona dengan kejadian yang akan terjadi. seakan-akan aku dan kamu dahulu menonton opera sabun di Comique Theatre Paris. ingatanku kembali membanjiri otakku. aku suka sekali disaat kakak - kakak perempuan ku memainkan bonekanya untuk bercerita tentang kisah cinta layaknya Romeo and Juliet. sejak kecil aku memang tertarik dengan karya sastra. tak heran kau melihatku dengan gelar sarjana sastra inggris. gemuruh halilintar menyambar. aku terkesiap kembali. menghamburkan lamunan 13 tahun yang lalu. segera aku mengemasi foto - foto itu.

Lalu pandangan berpindah ke setumpuk buku - buku usang. tergeletak lemah disudut rumah. aku coba menghampiri. buku bersampul coklat itu menarik perhatianku. oh, aku ingat. itu buku dimana didalamnya diceritakan kisah - kisah kita. kamu selalu membawanya kemana - mana. ke pantai, ke gereja. ke sudut pasar kumuh pinggiran disaat diutus mama mu membeli sayur - mayur. kau tulis semuanya disana. lengkap dengan tetesan air mata dan gelak tawa disetiap lembar buku coklat itu. aku tersenyum. terpaku pada satu halaman yang menceritakan awal mula kita bertemu. entah apa maksud Tuhan. tapi aku yakin, itu semua bukan sebuah kebetulan. Hujan masih ramai. berbondong - bondong menuju bumi. petir berteriak.

aku melihatmu untuk yang pertama kali disaat kamu melintas didepanku. seperti hendak mengambil kertas fotokopi atau sekedar merapikan tatanan rambutmu di belakang. aku jatuh hati. semudah itu. tapi memperjuangkan mu tidak semudah jatuh cinta. aku harus terpisah dahulu dengan mu. tidak melihatmu untuk jangka waktu yang lama bukanlah hal yang mudah. aku selalu mencoba untuk mengatakan kepada langit bahwa aku yakin bahwa aku dan kamu sedang memandangi langit yang sama. tapi faktanya adalah kamu sudah bersuami. sialan!

Diluar hujan hampir selesai. sisa - sisa gerimisnya saja yang tinggal. berjentik menari diatas trotoar, kapel kapel gereja dan menuruni daun pohon mahoni depan rumah. aku masih sibuk mengemasi barang - barangku. mencoba menerka-terka apa lagi yang aku bawa. Kadang mengemasi lalu semenit kemudian membukanya lagi. ragu mana yang layak untuk dipertahankan.

Pindah ini bukanlah aku yang minta. jangan salahkan aku jika pada akhirnya aku yang harus pergi. bukannya semua pahlawan seperti itu?. Gumamku ke sudut - sudut dinding. menggema. seketika senyap. terasa ada teriakan, tapi entah siapa. hujan kembali hadir. deras sekali.

Tidak ada yang paling menyedihkan ketika kita diperlakukukan untuk menjauh dari sikap - sikap tidak lagi nyaman. aku yakin semua orang berusaha untuk nyaman dan menyamankan satu sama lain. bukankah dalam dunia yang lain kamu pernah bilang bahwa berjuang itu dua sisi. begitu pula dengan mencintai. ada kata saling yang tersirat di dalam kata mencintai.

Asal kamu tahu, tidak ada yang mau pindah. begitupun denganku. darimu.


###

10 Agustus 2015
Nailal Mustaghfiri.

Someone has to be the person who pull the trigger, it's just a matter of time.

Jumat, 31 Juli 2015

Masihkah ada cinta diantara kita?


Aku terbaring, memandang langit-langit kamar yang berwarna putih lusuh. Nanar dan kosong. Kulirik jam dinding yang sudah menemaniku setiap malam-malam larutku. Lalu aku sadar akan sesuatu. Jadi, selama ini malam-malam panjangku hanya untuk memikirkan dirimu ya? Ah, sungguh kejam dirimu memperlakukan aku seperti ini.

gusar.

resah.

###

Ku ikuti tiap detik jarum jam yang berputar, satu ke dua. Dua ke tiga. Tiga ke empat. Lalu begitupun terus selanjutnya. Dulu, sewaktu jarum jam berada pada angka Sembilan yang ke sekian ribu kali yang lalu, aku merasakan bahwa aku sedang terjebak didalam waktu yang sama denganmu. dalam labirin paralel dimensi yang tidak pernah kita pelajari di SMA. Aku bahagia. Sangat.

Menggenggam tanganmu yang mungil, erat sekali. Pernahkah kau merasakan betapa eratnya genggaman tanganku waktu itu? atau malah kamu merasakan kesakitan yang sangat? Jujur aku takut kehilangan dirimu dan cintamu. Memandang tanganmu lalu kita bandingkan bersama warna kulit kita. Jujur kau sungguh hitam dibanding dengan ku. Lalu kau berpura-pura marah. Dan akupun luluh dihadapanmu seperti kucing meminta makan. Aku sama sekali tak bermaksud membuatmu marah. Sumpah. Satu hal yang selalu aku rindukan. sinar dari matamu yang sejak awal kita, ah, bukan aku melihatmu disana. Diruangan yang terkadang kau benci itu. Aku melihat. Dan kau tau, aku langsung jatuh cinta denganmu.

Kita berdua bahagia, aku bahagia. Sungguh. Entah denganmu dalam keadaan seperti itu. Suatu saore hujan turun di kota kita, aku dan kau, sedang diatas motor bututku. Menerjang hujan yang semakin rapat. Kau tak memelukku sama sekali. Aku fikir kau tak kedinginan. Mungkin.

Lalu ada sebuah pertanyaan terlintas di hati.
masihkah ada cinta diantara kita?.

Ku Tanyakan padamu dalam hati. Rintik hujan yang terus menabrak kaca helmku. Sesaat aku tersenyum. Sesaat lain lagi aku murung.

masihkah ada cinta diantara kita?.

Kau diam. Kau tak mendengar. Ataupun merasakan. Hujan semakin deras. Paling tidak aku bahagia bisa membawamu utuh malam itu. Meski kau tak menjawab pertanyaanku.

masihkah ada cinta diantara kita?.


###

Suatu hari, aku membawamu kesuatu tempat. Aku kira kau akan terkesan dengan semua itu.  Ku coba yakinkan diriku sendiri bahwa kau terkesan. Semoga terkesan. Meski hanya untuk menenangkan aku. Kunyalakan lilin. Aku buka tabir yang menghalangi matamu. Aku hanya ingin mengatakan “selamat ulang tahun” dengan caraku. Dengan segala keterbatasanku; lilin, roti sobek, dan cappuccino hangat pesananmu. Malam itu, kau sama sekali tak terkesan, persis dengan dugaanku.

Waktu masih mendikte aku untuk selalu mengikuti tiap detik. Aku antar kau pulang. Lalu pertanyaan itu kembali muncul: 

masihkah ada cinta diantara kita?.

Jawabannya masih sama. Kau tak merespon dan tak juga memelukku.

Malam itu gerimis.

Pada hari-hari selanjutnya kau tampak sangat angkuh. Entah setan mana yang merasuki tubuhmu. Mulai saat itu juga pertanyaan itu kembali muncul: “masihkah ada cinta diantara kita?”. Tiap pesan yang aku kirim ke handphone mu hanya dibalas pertanyaanku saja. Kau tak menanyakan keadaanku. Kau tak menanyakan kabarku. Kau tak menanyakan sedang apa padaku. Sikapmu yang membuatku tak mau menjadi wartawan untukmu. Ah, wartawan. Dalam hati ini ada gemuruh saat melihat kau seperti ini. Kau mungkin tak akan pernah mendengarnya. Kau terlalu tuli untuk semua yang aku rasakan! 

Apa kamu tuli?

Ah, kenapa aku harus marah kepadamu?

Sudah lama aku tak mendengar kabarmu, semenjak malam itu kau tak mengatakan sepatah katapun. Dalam bayanganku, ku tanyakan pertanyaan yang selalu menghantuiku sampai saat ini: 

masihkah ada cinta diantara kita?. 

Lalu dengan mata melotot kau menjawabnya.

apa? Kau sudah tak percaya lagi sama aku?!. 

Aku diam. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Mungkin lebih tepatnya aku tak punya persiapan jawaban untuk itu. 

Lagi – kau yang menang.

Suatu ketika, saat aku berkendara sendiri menerjang gerimis, gerimis yang sama saat kita berdua menghabiskan malam. Lalu aku membayangkan kita sedang bercakap-cakap. Aku melontarkan pertanyaan yang sama: 

masihkah ada cinta diantara kita?. Lalu kau gusar.

Marah.

jawabanmu itu butuh jawaban jujur, bukan hanya “iya” atau “tidak”. katamu sambil melarikan diri dariku. Kau tak lagi melanjutkan jawab. Hilang entah kemana.


###

Dengan kuatnya waktu mengikatku bersamamu. Lima belas rotasi sudah aku terikat. Meski kau sudah tak tahu entah dimana. Tapi aku masih saja didikte waktu untuk mengikutimu. Kepada udara kutanyakan lagi pertanyaan yang sama; “masihkah ada cinta diantara kita?”. Kau, dimanakah dirimu sekarang? Disini aku sangat merindukanmu. Lalu ingatanku menelusuri segala tentang dirimu. kapel - kapel gereja, lobi mall yang biasa "kita bergandeng tangan". Zona merah kita. Tiket bioskop kota sebelah yang masih tertempel didinding kamar, aroma parfum bibit mu yang melayang -layang disudut kamar, struk makan di kafe waktu itu, meja 23, masihkah kau ingat? Struk pesanan cappuccino yang kau pesan pada malam sebelum kau menghilang. 



lalu,

masihkah ada cinta diantara kita?.






###

Nailal Mustaghfiri
01/08/2015

Aku akan selalu menanyakan kepada Tuhanmu, bolehkah aku, yang bukan dari kaum -Nya mencintai salah satu hamba - Nya?

Rabu, 15 Juli 2015

Ter - istimewa - kan

Bukankah disetiap pagi datang akan ada harapan baru untuk berubah. aku sadar jika aku mungkin pernah gagal dengan yang lalu. dan kamu pernah tersesat didalam labirin hati masa lampau. lalu bukankah selalu ada harapan baru untuk masa depan?

***

setiap manusia berhak merasa dirinya seperti martabak istimewa. yang selalu berada dalam list teratas di daftar menu yang diberikan abang - abang disaat aku hendak membeli sekotak cinta martabak telur istimewa. harganya cukup lumayan mahal untuk sekotak kasih sayang martabak istimewa. tetapi aku urungkan karena ya kembali lagi keselera. aku memilih martabak telor dengan kategori kedua alias dengan menggunakan telurnya dua. 

lalu, kenapa tidak memilih yang istimewa saja? alasannya sederhana. aku tidak punya cukup uang untuk membeli martabak yang istimewa. lagipula, aku juga gak bakal habis memakan martabak istimewa yang seukuran dada-nya jupe TV 14". 

ya itulah logika dan alasan kenapa kok sepertinya datar-datar saja, dan seakan akan aku tidak pernah memperlakukan wanita menjadi istimewa. aku kasih tahu sejujurnya. satu, aku bukan pria sewaan romantis. aku tidak bisa memuji wanita, memanjakan dengan tatapan nanar. just like you saw me, somehow God created me with pointless starry eyes (sometimes). bukan berati aku itu emotionless lho ya. aku cuma gak bisa ngungkapin betapa bahagianya aku punya uang 14 miliar kamu. aku sadar dan dari awal aku mulai tumbuh dewasa, aku memulai untuk menerima dan tidak mau ambil pusing terhadap omongan - omongan manusia bajingan sok tahu yang bahkan tidak sepeserpun memberikan aku kesempatan untuk bercerita kepadanya. 

untuk perempuan diluaran sana, kamu. yang sudah membuat hidupku semakin lengkap. mohon maaf jika aku menyakiti dengan memperlakukan kamu tidak istimewa. untuk perempuan putih dengan tinggi 163 cm dan rambut terurai seperti model iklan l'oreal. YOU MAY THINK THAT YOU'RE NOT SPECIAL. BUT YOY'RE WORTHY TO FIGHT. now, it's your turn, for you; AM I WORTHY ENOUGH TO FIGHT?


Salam pempek,
Nailal

Selasa, 18 November 2014

Sepucuk Surat untuk Masa Depan

Teruntuk masa depanku,

Entah aku harus mulai dari mana kalimat-kalimat ini agar bisa diterima dengan baik olehmu-masa depanku. yang jelas aku ingin sekali bicara empat mata denganmu. semua gemuruh keraguan, kegelisahan ini agar kau juga merasakannya. tentangmu, dan tentang masa depan kita.

masa depanku, bertemu denganmu adalah anugerah yang Indah dari Tuhan. andaikan bisa dibayangkan, kamu itu adalah usapan tangan renta ibu saat aku meringkuk sendu dipangkuan dikala hujan mempermainkan aku sampai kuyu. Damai, tenang meski masih menyisakan kegelisahan. gelisah karena akan bertahan sampai kapan usapan ibu itu.

teruslah menjadi sesuatu yang selalu aku ragui. karena ragu itu penting. tanpa keraguan kita akan menjadi ambigu antara percaya dan tidak sama sekali. ragu membuat suatu kepercayaan makin terus hidup. maafkan aku jika aku terus selalu ragu padamu. aku selalu mencoba untuk tidak ragu, tapi aku khawatir jika ke-tidak-ragu-an-ku menjadi tak lagi peduli. tentunya kamu tidak mau hal itu terjadi. tetapi, jangan kemudian ragu menjadi pemicu badai-badai kita.

jujur aku tidak pernah peduli tentang masa lalumu. karena dengan itu semua, kamu menjadi seperti ini. dan aku menerimamu komplit sepaket-paketannya. aku menerimamu bukan karena kamu cantik. ah, terlalu klasik dan naif rasanya jika hanya karena cantik aku mau bertahan. bukan juga karena kamu kaya, lalu aku mau bertahan denganmu sekaligus aku mau menyelamatkan diriku sendiri dari garis kemiskinan. aku menerimamu karena aku rasa kamu yang bisa meredam gemuruhku, sedihku dan mau berjuang denganku.

Sebelumnya aku ingin jujur. Bagiku, wanita itu tidak untuk diperjuangkan. rasanya tidak adil jika hanya wanita saja yang diperjuangkan. Lebih tepatnya adalah sama-sama diperjuangkan. Masih ingat cerita Adam dan Hawa yang turun ke bumi setelah diusir dari surga? mereka berdua sama-sama berjuang untuk saling mencari satu sama lain. pernah dengar cerita Hawa malah duduk dan menunggu Adam menjemput? tentu tidak, bukan? itulah esensi Nabi-Nabi kita menceritakan bagaimana mencintai.

Karena, aku pribadi, dibanding dengan yang lain, aku tidak ada apa-apanya. aku sepenuhnya sadar jika aku tidak kaya. yang bisa melindungi kamu dari sengat matahari, atau deru badai hujan di bulan november. Aku mohon maaf jika hanya seperti ini saja saat ini aku padamu. mohon maaf aku tidak mirip dengan masa lalu -  masa lalumu.

aku juga sadar jika aku tak setampan pria impianmu, atau pemain sinetron yang tiap kali kau tonton saat berkunjung kerumah. aku sadar. terimakasih telah mau bertahan. jika suatu saat nanti kamu pergi, aku tetap bangga, karena kamu, pernah bilang cinta padaku.
lalu, aku juga sadar akan semua keterbatasanku. maaf. masa depanku, aku harap kamu terima aku apa adanya meski seadanya seperti aku padamu.

yang tercinta masa depanku, semua orang berhak berbangga akan segala pilihannya dan boleh bersombong. karena semua orang melakukannya. tetapi, jarang ada orang yang mau bertahan akan pilihannya, meski yang lain bisa jadi lebih baik. kamu adalah perempuan yang aku yakini menjadi pendamping hidupku. aku bangga dan sangat bahagia akan pilihanku.cinta bukan berati mendapatkan yang lebih baik saja. tetapi mempertahankan serta memperjuangkan juga. Dari sekian rintangan yang aku hadapi, aku masih mampu bertahan, dan akan terus tetap bertahan untuk memperjuangkanmu. suatu saat nanti, jika memang aku bukan lagi menjadi pilihanmu, aku ikhlas kau panggil apa saja.

aku akui, aku tak punya apa-apa. apa - pun aku tak punya. tapi aku punya hal yang sering kali kamu tak pernah mampu untuk melihatnya. aku punya doa dan waktu. iya, doa dan waktu. bisa saja mereka berjanji untuk membelikanmu mobil atau rumah seperti pesan-pesan singkat yang dikirim ke handphone mu kemarin sore.  jujur aku bergemuruh. dan aku yakin aku bisa memiliki apapun yang lebih dari bangsat-bangsat yang cuma bisa janji. tetapi, aku harap kamu bersabar denganku. saat ini aku hanya punya doa dan waktu. doa yang aku selipkan disetiap sujudku, agar kamu terhindar dari amarah Tuhan. dan waktu yang selalu aku usahakan disela-selaku mengejar harta.

maafkan aku yang hanya bisa jadi pria yang merasa bisa dan benar atas egala hal dan tidak mau mendengarkan perkataanmu. maafkan aku.





Rabu, 24 September 2014

Epilog

Sebelum kamu membaca ini semakin dalam, aku mohon dengan sangat agar kamu mengenakan headphone-mu , lalu mainkan lagunya Emeli Sande – Clown yang biasa aku nyanyikan disaat kita bersama membelah kota dengan sepeda motor bututku, dulu disaat sendu.  Karena, disaat aku menulis ini, aku sembari menyanyikannya dengan gemuruh, pendar petir. Di hati.

###

Kita sudah sampai di akhir. Iya, kita. Aku dan kamu. Berada diujung jalan kita masing-masing. Itulah kenapa aku namai ini sebagai epilog. Aku tidak pernah membayangkan bahwa akhirnya kita memiliki jalur yang berbeda. Oh, bukan kita. Cuma kamu saja. Aku masih dijalur yang biasa kita impikan dan perjuangkan – jalur yang biasa kita angan-angankan disaat rebahan dibawah konstalasi bintang milky way diatap kosku.

Kita sudah berada diujung akhir buku yang tiap hari kita biasa tuliskan dengan penuh harapan-harapan dan doa-doa. Aku tidak mengerti kenapa ini semua berakhir. Apakah doa-doa kita tidak memiliki perangko, sampai-sampai pak pos tidak mau beranjak sehingga Tuhan tidak menerimanya? Ataukah kita kehabisan pulsa? Sering aku tanyakan kepada Tuhan akan hal itu. Dia membisu. Aku tersedu. Semakin dalam aku larut diantara remah embun diujung mata sujudku.

Sebentar lagi kita akan sama-sama menutup lembar terakhir buku kita. Kamu hendak menuliskan cerita yang lain, dan aku hanya akan menuliskan synopsis dan biodataku sendiri dilembaran cover belakang buku kita. Diikuti dengan membubuhkan tanda tanganku sebagai pelengkap. Lalu sepenuhnya hanya untuk dikenang. Olehku saja. Bukan kamu, mungkin karena kamu akan terlalu sibuk dengan menuliskan cerita dengan harapan, doa yang menggebu dibuku dan cerita yang lain. Semoga tidak kehabisan perangko ataupun pulsa. Aku berdoa itu untukmu.

Aku sangat berterimakasih telah sudi mampir dibuku-ku ini. Terimakasih telah mau meluangkan waktu untuk menuliskan berpuluh, beratus-ratus lembar cerita dan doa-doa kita dengan tulus. Aku sangat bangga sekali denganmu. Dan aku selalu akan bahagia. Karena kamu pernah bilang bahwa kamu sangat mencintaiku seadanya. Terimakasih telah membuat bapak-nomor-satu-didunia-ku bahagia mendengar setiap cerita-cerita yang kau haturkan dari kota. Bapak selalu menggemari cerita-ceritamu dikala kamu mampir kerumah. Terimakasih telah membuat ibuku bahagia karena akhirnya ada yang mau menemani beliau memasak. Kamu tahu kan jika kakak-kakakku tidak ada yang bisa memasak. Remah-remah candamu tertinggal disini. Sudikah mau mengambilnya? Sepertinya mereka tidak lagi membutuhkan itu.

Jarak. Lalu, tumbuh diantara kita sebuah jarak. Spasi yang biasa kita ciptakan untuk melengkapi kata-kata menjadi semakin jauh. Spasi yang tidak pernah kita duga akan memisahkan cerita-cerita kita. Setelah buku ini tertutup rapat aku mohon untuk tidak pernah lagi mencoba membuka buku ini. Aku takut buku barumu sakit hati. Karena aku begitu. Dulu. Setelah buku ini habis, aku harap kamu tidak pernah menanyakan aku. Meskipun hanya kabar. Bisa saja aku sudah tidak mencetak buku baru lagi. Tinggalkan saja aku diperpustakaan yang biasa kamu kunjungi disaat kota menyengat panasnya. Sibukkan dirimu dengan harapan-harapan baru. Doa-doa baru yang tiada henti. Kamu berhak mendapatkan yang lebih dari sekedar aku. Letakkan saja buku ini dirak kategori novel baris kedua dari bawah. Tidak perlu menghafal nomor serinya. Dan kamu pasti tahu alasannya.

Hidup adalah sebuah pilihan, termasuk memilih untuk bahagia.

Itulah kalimat yang selalu aku ucapkan padamu. Kamu berhak memilih bahagia. Kamu pantas mendapatkan lebih dari sekedar aku.

Kita sudah sampai diujung. Sudah aku maafkan segalanya. Mulai sekarang kamu bebas untuk pergi. Begitupun sebaliknya. Maafkan aku atas segala ketidaknyamanan sehingga kamu pindah ke buku yang lain. Maafkan jika tempat berteduhku tak senyaman dan sebagus mereka yang kamu impikan. Maafkan aku yang tidak bisa menepati janjiku untuk menahanmu lebih lama.

###

Kalimat-kalimatku hampir habis. Sebelum titik memaksaku berhenti, aku memliliki satu permintaan. Aku mohon ingat lagi segala tujuan awal dan semua komitmen disaat lembar kata pengantar tertuang dibuku yang lain. Lalu semua epilog-epilog ini akan musnah. Mungkin aku tak seberuntung yang lain. Maka, aku harap jangan pernah lagi membuat epilog yang lain. Cukup aku saja yang jadi badutmu.




24 september 2014
Nailal mustaghfiri.
Terselip ini, untuk kita, disaat badai diantara kita sedang melanda. Cepatlah sembuh. Mari lari-lari lagi.


People change, feelings change. It doesn’t mean that the love once shared wasn’t true and real. It simply just means that sometimes when people grow, they grow apart.